Wednesday, February 25, 2015

Nekat ke Taman Lele

Mengapa judulnya nekat ke Taman Lele?, soalnya udah banyak yang bilangin saya Taman Lele itu jelek. Gini nih kata mereka "heh nopo meh ning taman lele, elek ndes", adalagi teman saya yang satu lagi bilang "taman lele meh opo, meh mbojo?". Intinya temen saya tadi bilang taman lele itu jelek, dan satunya lagi bilang kalau taman lele itu buat mojok pacaran.

Bahkan gak cuma temen-temen saya di dunia nyata yang bilang taman lele itu ga ada apa-apanya. Berbagai blog di internet pun bilang kalau disana wisata yang kurang diperhatikan pemerintah. Kalau ga percaya googling gambar aja dengan keyword "taman lele semarang", semua gambar dijamin sepi, gak ada pengunjungnya.

Walau begitu, yang namanya tempat itu jeleknya seperti apapun, bagi saya sendiri belum pernah sedikitpun berkunjung ke tempat itu. Pernah ada temen saya yang dari magelang tanya tempat wisata taman lele itu mana, saya cuma bisa nunjuk ke arah barat. Digimana-gimanain juga belum pernah kesana. Ini sumber niat saya pengen nyambangi taman lele, karena belum pernah sedikitpun. Padahal tempat wisata yang jauh-jauh pun rela ditempuh.

Lucu lagi, salah seorang teman saya ketika ngobrol, ngakunya dia memasukkan taman lele ke dalam karya tulis skripsinya karena tema penelitiannya adalah tempat wisata. Tapi dia sendiri belum pernah menginjakkan kakinya di sana. Karena polosnya juga ketika dia ditanya dosen pembimbingnya, ngapain juga dia jujur kalau belum pernah kesana. Hahaha...

Seperti yang sudah-sudah saya putuskan untuk mengunjungi tempat wisata itu, yeah semangat. Singkirkan dulu kata-kata negatif di benak pikiran saya. Sebelum berangkat saya sudah melihat di peta untuk mencari denah lokasi taman lele. Oh ternyata dekat dan dipinggir jalan. Setelah mempersiapkan jaket dan helm serta mengajak istri tercinta, berangkatlah sore itu ke taman lele.
Arah taman lele tepatnya di sebelah barat kota semarang, jalan Semarang-Jakarta, setelah RS tugurejo, kiri jalan kalau dari kota. Malah hampir kelewatan. Agak kecewa sih karena lokasinya terlalu deket, tahu gitu gak usah pakai jaket. Hehe.

Dari jalan raya terlihat halaman luas dan gapura besar bertulis "Kampoeng Wisata". Nah inikah taman lele itu? Kesan pertama bagus juga, asri. 


Tampak depan

Okelah, hal pertama adalah masuk ke lokasi cari parkiran buat motor. Setelah tengak-tengok sana-sini, disalah-satu sudut halaman sebelah kanan ada motor-motor. Saya pikir ini adalah tempat parkirnya. Tapi kalau ini dibilang parkiran juga motornya terlalu sedikit. Apa gak ada pengunjungnya, sore-sore gini?.  Semakin saya bertanya-tanya.

Dihalaman terlihat beberapa kios penjual yang tutup. Hanya satu yang terlihat adalah penjual nasi padang. Oke mari lanjutkan, setelah saya mengikat helem dan jaket di motor, kami berdua berjalan masuk ke area kampung wisata. Disebelah kiri halaman ada tulisan "Hotel Kampoeng Wisata Taman Lele Semarang ooh ternyata ada penginapannya juga yah, nampaknya disetting lengkap oleh pengelola daerahnya.

Ada hotelnya

Kesan masuk pintu depan, rasanya emang seger banget, karena suasana semacam taman luas, pohon-pohon *pohon apa'an ga mudeng* yang menjulang tinggi, bernuansa hijau, dan banyak vegetasi serasa masuk ke hutan wisata. Disebelah kanan tampak adanya loket, menurut informasi di google, loket masuknya murah hanya 3000 per orang. Saya dekati loket bermaksud untuk membeli tiket masuk, dengan pede nya saya bilang "buat dua orang mas mbak",, namun *krik-krik* sepi ga ada jawaban. Agak mendekati kaca loket, saya arahkan pandangan agak lebih dalam, oh ternyata dalamnya ruangan kantor yang panjang, terlihat ibu-ibu pakai daster sedang menghadap berlawanan dengan saya. Saya panggil "buk, ibuk", sambari mengetuk-ketukkan batang kunci Revo saya di kaca, suaranya *tek tek tek tek*, cukup keras.

Nampaknya ibu-ibu itu juga ga dengar, malah metentengin tangan lagi ngomong sama orang lain. Saya malah jadi ragu apa emang bener ini ibunya si jaga loket, jangan-jangan emang bukan tugasnya jaga loket jadi cuek-cuek aja. Saya pikir berarti ini sudah mau tutup atau bebas masuk, karena udah sore. Karena sebel banget dicuekin, saya bablas aja melenggang ke dalam, sambil bilang ke istri saya "tiketnya ga bayar kali, ga ada orang".

Okelah saya masuk ke dalam kawasan Taman Lele, baru beberapa langkah dipanggil suara ibu-ibu, "mas-mas". Akupun noleh "eh iyaa buk, ada apa", belagak bloon. Ibunya bilang "tadi masnya yang ngetuk-mgetuk ya mas?".
"Oh iya bu,kenapa?" masih belagak bloon. Ibunya bilang, "bayar tiket dulu!". 

Kampret banget ternyata dia denger saya ketuk-ketuk tadi, kalau denger napa ga langsung respon?, parah banget kesan pertama pelayanan publik disini.
Setelah bayar loket 6000 untuk 2 orang, saya masuk dan mulai ingin menikmati pemandangan yang sejuk ini. Saya gambarin ya suasana disini, ketika masuk lokasi Taman Lele sepi banget, malah ketemu anjing mengenaskan entah piaraan siapa disana, dia ramah menyapa saya sebagai tamu. 

Saya pun menanggapi sapaan anjing lusuh itu, "halo anjing, kamu lagi apa di pojokan?", setelah saya tanya gitu kok malah perilakunya jadi aneh. Moncongnya ini malah diarahkan ke bagian bokongnya sambil sesekali lihat wajah saya, matanya memelas, bunyinya "nguik-nguik". Beberapa kali gitu, seakan kalau misal dia manusia dia mau nunjuk pakai tangan di bagian bokongnya, tepatnya kemaluannya. Hei, kayanya aneh banget ni anjing. Gusar banget dia. Saya berpikir apa ada sesuatu di anunya si guk-guk ini, apa dia sakit. Nampaknya dia baik-baik saja, terus napa yah, oohh aku tau, sepertinya kalau kucing saya begini dulu dia minta kawin atau habis lihat kucing cewek. Yah kesimpulan saya ni anjing minta dikawinkan, atau mau minta kawin sama saya. ±}§×÷π{]℅℅Δ arrgh.

Selanjutnya, niat saya adalah berjalan ke semua sisi lokasi taman lele ini. Saya lihat ada jalan memanjang lurus kedepan dan dikanan-kirinya taman berumput hijau. Didepan menghadang pohon-pohon tinggi nan sejuk. Dikiri jalan saya lihat ada semacam kolam luas, seperti kolam pancing. Iya ini mungkin isinya lele kali. Disudut-sudut kolam terlihat dilengkapi gazebo untuk tempat duduk-duduk.


Kolam pancing


Saat itu ada beberapa orang pemuda sedang mancing dan kongko-kongko, mereka terlihat malah seperti dari kampung-kampung sebelah aja. Melihat jumlah mereka ga sama dengan motor yang ada diluar yang hanya sedikit, saya yakin mereka datang dengan berjalan kaki.

Kami berdua jalan malah yang jadi perhatian mereka, malah saya ngerasa orang asing. Kenapa ya dipikiran saya sepertinya mereka juga jarang ngelihat pengunjung, bener-bener deh parah.

Jalan berpaving nyaman

Disebelah kanan ada kurungan, wah ternyata ada satwanya juga, isinya burung kalkun kalau ga salah identifikasi, hehe. Kasihan juga kondisi kandangnya lagi-lagi mengenaskan. Hewan lainnya yang saya temukan lagi asik bergelantungan yaitu monyet satu ekor. Cuma itu, hedewh. Ga tau anjing yang tadi nyambangin saya itu termasuk kehitung satwa disitu enggak.

Oiya disitu ternyata juga tampak ada kolam renang, tapi kelas buat jeburan anak-anak, terlihat ada permainannya. Kalau kita teruskan jalan di rute itu sampai seperti sebuah taman yang ada ayunan dan semacamnya. Disana saya ngelihat ada pengunjung lain, ini yang membuat lega. Pengunjungnya muda-mudi gak jelas tujuan mereka hanya berduaan sepertinya. Bukan foto-foto.
Yang menarik perhatian saya adalah semacam pohon besar yang dibawahnya ada gua dan airnya, entah apa namanya mungkin ini mata air. Ada kok cerita di balik ini, sebentar ya saya browsingkan dulu. Hehe. Nah ini dah ketemu,

***Dikutip dari suaramerdeka.com, nama Taman Lele ternyata berkaitan dengan sejarah tempat itu. Konon sebutan Taman Lele muncul karena ada kolam yang dihuni beberapa ekor lele. Kolam yang ada di bawah pohon besar itu, bagi orang awam sepintas biasa-biasa saja. Namun bagi orang-orang yang punya daya linuwih, bisa melihat bahwa kolam itu dihuni pula oleh lele siluman. Kepalanya seperti lele-lele pada umumnya, tetapi tubuhnya hanya terdiri dari duri.

Air kolam itu berasal dari sebuah mata air yang persis berada di kaki bukit. Konon, dulu air dari tempat itu sering digunakan warga sekitarnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Bahkan, sawah yang dulu berada di sebelah utara jalan raya, juga mendapat aliran dari tempat tersebut.

Mata air itu dipercayai warga dihuni seorang siluman, bernama Sarinah. Oleh warga, nama itu kemudian biasa disebut Nyi Tuk Sari. Tuk adalah bahasa Jawa yang berarti sumber mata air.

Setiap kali akan punya hajatan mantu, warga sekitar taman selalu datang dan sambil membawa sesaji. Mereka percaya, jika hal itu tidak dilakukan, acara yang diadakan tidak akan berhasil.

Mata air tersebut memang dipercaya bisa mendatangkan berkah. Karena itulah, pada malam-malam tertentu, seperti Jumat Kliwon, banyak yang mencari berkah di tempat itu***

Nah setelah browsing dikit tentang taman lele, saya nerusin ke jalan setapak yang disediakan suasananya semakin diterusin semakin liar, agak menakutkan kalau saya bilang. Bahkan ketika mau diteruskan jalan berpaving yang tadinya buat jalan-jalan enak sekarang jadi tambah rusak dan malah berubah jadi jalan setapak. Ada jalan yang berbelok agak mendaki dengan anak tangga yang tak beraturan, bikin males aja, tampaknya ada lokasi diatas. Jelas gak ada yang menarik diatas sana, kecuali mau uji nyali pas malam-malam, cocok deh.

Masih dalam nuansa terbengong-bengong melihat jalan setapak yang menuju tempat antah berantah, saya pun memutuskan untuk menyerah, mengakhiri semua perjalanan dan keingintahuan saya. Yah emang apa yang bisa diharapin dengan uang 3000 jaman sekarang. Tiket murah, gini-gini doank, dapat hiburan bagus, ngimpi.

Sesaat setelah memutuskan untuk pulang, saya berdua disapa sama ibu-ibu yang berjalan ke arah kami. Dia menyapa "mas, naik sana ke atas, itu masih ada tempat diatas". Istri saya polosnya nanya "diatas ada pemandangan apa buk?"
Si ibunya jawab, "ya kayak gini ini tapi diatas" ibunya sambil jalan ke arah jalan setapak antah berantah.

Istriku nanya ke ibu-ibu itu "lha ibuk sekarang mau kemana?", si ibu menjawab sambil tertawa "saya mau pulang, itu rumah saya lewat situ bisa". Oh ternyata jalan itu tembus perkampungan belakang area taman lele. Bener dugaan saya pemuda-pemuda yang tadi banyak pada nongkrong dan mancing itu pasti asalnya dari jalan setapak ini, dari belakang, gak mungkinlah mereka dengan culunnya bayar lewat loket seperti saya dari depan.

Seraya sambil pergi ibunya dengan ramah nawarin duduk-duduk diwarungnya. Oh saya paham dia punya lapak disana, bahkan kata dia kalau siang tadi saya nyewakan tiker.

Oh saya jawab "oh terimakasih bu, gak usah" Sambil meninggalkan kami si ibuknya masih nyahut "dah naik aja disana mas, masih ada tempat diatas,, jangan disini!" agak ada nada penegasan.

Saya kurang faham perkataan ibuknya yang terakhir "jangan disini", saya masih belum paham karena pikiran saya selalu positip. Mungkin dia mau bilang jangan jalan-jalan sampai sini aja mas, diatas pemandangannya bagus.

Setelah si ibu nya ga nampak lagi, kata istri saya dia ngelihat pergerakan sesuatu di atas lokasi kami berdiri. Kalau saya sih karena mata cenderung burem karena minus. Sepertinya emang ada orang dikawasan atas kami berdiri, iyah bener ada orang berduaan mojok, ketutupan semacam plastik MMT. Ooh barusan saya maksud ibuknya tadi mungkin akan mbilangin saya yang belum pernah kesini mau pacaran, atau *mesum* itu jangan di sini, ini tengah jalan, iya jalan pulang rumah saya. Itu maksud ibunya tadi.

Hedeh belum lagi nemu apa bagusnya tempat ini malah udah nemuin yang jelek-jeleknya. Dengan niat yang lebih mantab saya pulang deh, ternyata emang bener kampung wisata ini buruk. Saya sudah buktikan sendiri. Sangat disayangkan, harusnya pemerintah setempat lebih mengurusi tempat-tempat yang berpotensi gini. Dengan langkah gontai saya pulang deh, yang penting udah pernah menginjakkan ke tempat ini dan cukup sekali. Harusnya pemerintah bikin-bikin event menarik disini, seperti kuliner durian, atau kumpul-kumpul pecinta satwa. Jangan dangdutan. 

Tuesday, February 24, 2015

Hutan Mangrove Morosari, Wisata yang Sedikit Ambigu

Hari Jumat siang, seperti biasa cukup panas bagiku di kota Semarang ini. Sejak kemarin udah pingin aja pergi ke suatu tempat yang enggak jauh, juga enggak cuman ngemall-mall aja. Akhirnya pilihan jatuh pada budidaya mangrove di morosari demak. Beberapa temen yang sudah pernah kesana sih, tapi saya baru sempet aja kesini.

Apa mangrove?
Tanaman ini sebenarnya sengaja ditanam di sabuk-sabuk pantai karena hubungannya dengan erosi. Lebih menariknya lagi banyak satwa-satwa seperti bangau yang menjadi habitat magrove itu. Entah apakah yang dimaksud mangrove itu sama dengan bakau.

Di mana letak tempat wisata ini?
Setelah nyari-nyari di berbagai blog dan map, ternyata lokasinya dekat banget di kelurahan Bedono, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Dari Simpang Lima kota Semarang terhitung 40 menit sampai ke lokasi dengan kecepatan rata-rata 50 km jam naik motor. Oiya lokasi ini lebih cocok jika naik motor saja karena walau dekat tapi jalannya yang jelek dan berlubang, jika ditempuh naik mobil akan memakan waktu yang lebih lama. Pas saya kesana naik Honda Revo dengan berbekal bensin 15 ribu pulang pergi.

Memang wisata ini masih belum terlalu banyak diminati oleh banyak orang, terlihat dari jumlah pengunjungnya yang masih tergolong tidak banyak. Tapi ada yang bikin sedikit ambigu dengan wisata ini. Pertamanya saya enggak tau yang namanya menariknya wisata mangrove ini uniknya dimana, menikmati sejenis pantai seperti pantai-pantai biasa, jalan-jalan di hutan mangrove atau naik perahu?

Karena enggak tahu ya udah langsung hajar aja, saya berangkat dengan istri saya naik motor jam 15.00. Berbekal info dari internet (yang ternyata ga berguna sama sekali), perjalanan menuju arah timur yaitu Sayung Demak, sore yang cukup macet karena jam pulang kerja, setelah melewati jembatan kembar,

Gapura kab demak

Tidak jauh dari sana ada masjid megah di kiri jalan yang ada jembatannya, disana ada gapura besar bertuliskan Pantai Morosari. Wah dekat dan mudah sekali petunjuknya, dengan melihat dari papan petunjuknya yang besar dan jelas seperti ini udah terlintas kalau wisata ini cukup dikenal dan dikelola baik oleh pemerintah kabupaten setempat. Amin.

Gapura Selamat datang

Sebelum lebih jauh masuk ke lokasi, saya beli dulu air minum sambil menanyakan ke penjualnya apakah pantai morosari itu masih jauh kiranya. Si mbaknya jawab 15 menit mas. Okeeh deh, mari lanjut, hari sudah semakin sore, kirain saya akan kesulitan untuk dapetin air minum kalau udah masuk ke tempat yang terpencil, ternyata saya salah sepanjang jalan banyak toko dan warung. Warga sekitar situ ternyata banyak yang beraktifitas jual beli dan warungan, ciri khas penduduk pantura.

Setelah seteguk teh pucuk harum mendinginkan tenggorokan yang gerah sejak tadi, saya mulai menikmati jalan yang mulai bergelombang. Ada jalan yang sudah dibeton halus, tapi ternyata saya kecewa karena lebih banyak jalan yang berbatu. Hehehe. Jalan berlubang ini mungkin akan menyulitkan jika anda menggunakan mobil sejenis sedan. Ga kebayang kalau saya bawa Timor tadi, bisa-bisa sampainya habis Isya, hehe. Terlihat Toyota Rush yang ground clearance nya tinggi, tampak kesulitan. Ini belum kalau kondisi hujan, bisa seperti nonton off road. Yah motor masih lebih merajai dijalanan. Kelihatan banget saya pengendara motor dari luar yang berhelm dan berjaket, apalagi berplat AD, semakin membedakan dengan warga sekitar yang berseliweran pakai topi kebalik dan ada juga yang pakai sarung.

Kanan kiri jalan tampak pemandangan air dan tanaman-tanaman semacam bakau atau mangrove. Kanan kiri jalan masih tetap banyak pemukiman. Jalanan masih sempit, mungkin akan kesulitan jika ada dua mobil yang bersimpangan, kudu sabar. Terlihat pengendara motor penduduk setempat yang sepertinya sudah ahli menghindari lubang-lubang jalan karena sudah terbiasa. Sepertinya mereka main merem aja naik motornya karena udah hapal lubang-lubang busuk itu.

Ada papan beginian, emang buat konsevasi mangrove

Setelah melalui jalan yang parahnya minta ampun ini, tiba di sebuah persimpangan jalan, dan terlihat jembatan yang cukup besar berwarna biru. Ini yang bikin sebal dan tidak bertanggung jawab, tadinya ada gapura besar petunjuk pantai, sekarang ini ada perempatan dan ga ada petunjuk barang sedikitpun. Iyah, brengsek banget ini pemerintah daerah busuk mana yang sengaja bikin tidak ada petunjuk jalan yang memperjelas tujuan wisata unggulan daerahnya sendiri. Bahkan sampai sejauh ini juga saya belum terbayang Morosari itu apa. Kadang pernah mikir arti morosari itu "moro = datang", "sari = teman saya", jadi artinya datang ke rumah Sari, Hedeweh..

Dah lah dari pada kaya orang bingung sendiri, mari pakai logika. Saya sendiri bingung logika saya ada di dengkul atau di leher. Logika saya mengatakan kalau ga ada petunjuk kanan atau kiri berarti ya masih terus aja. Tapi emang bener jalan semakin kecil dan menurun sepertinya udah mau sampai. Tapi ternyata masih cukup jauh juga sih perjalanan dan akhirnya tiba di sebuah tempat yang tampak berportal dan ada loketnya, disebelah loket nampak ada motor diparkir menandakan ada yang jaga. Nah akhirnya tibalah saya di suatu tujuan, ini lah pantai Morosari. Ohh ternyata benar, morosari adalah pantai, asiik.

Terlihat ada mas-mas bertopi yang jaga loket masuk, ciiit rem depan belakang masih berfungsi baik dan saya berhenti tepat didepan loket masnya jaga. Sambil tangan bersiap-siap meraih dompet, saya tanya "berapa mas?", si emas menjawab "2 orang 14ribu"

Oh, ternyata ada tulisannya 7000 per orang. Lalu saya tanya lagi "ini lokasi parkirnya mana mas" maksud hati biar dia agak jelasin dikit. Ternyata sesuai perkiraan saya mas nya jawabnya standar' "parkirannya bebas mas satu area ini".

Saya bingung, soalnya pas saya pingin ke pantai ini seperti di foto facebook pajangan kawan yang foto-foto di antara hutan mangrove, di semacam jembatan panjang. Kok saya gak lihat blas ada area panjang atau jembatan disini. Ya emang gak salah namanya pantai, saya hanya lihat pantai seperti biasa. Lokasi yang super sepi dan ga ada gairah wisata kalau saya bilang. Terlihat hanya beberapa pemuda pemudi datang dan nongkrong disebelah motornya dengan tujuan berduaan. Aduh saya jadi bingung.

Tanya si emas penjaga loket ini kayanya bukan hal yang banyak membantu, tapi bolehlah karena ga ada orang lain. Saya nanya "lo mas hutan bakaunya dimana?", lalu si mas loket jawab "kalau mau ke hutan bakau naik kapal mas dari sini".

Lalu istri saya nanya "berapa naik kapal mas", si mas loketnya jawab "naik kapal 100ribu", jawabnya sambil wajahnya ngadep laut, Entah ini tanda apa, pertama pikiran saya sepertinya udah lama gak pernah ada yang naik kapal beginian, dan yang kedua mungkin dia mikir gak mungkin saya minat atau bahkan dia ngira saya gak mampu buat naik kapal 100ribu. "perkiraan dia tepat"

Okelah saya muter dulu area di lokasi pantai, sambil cari-cari yang menarik. Saya lihat parkiran motor yang kosong melompong. Resto yang menjorok ke laut yang ga keurus, dan ada beberapa mainan sepeda air yang tampaknya lusuh lama ga digunakan. Hmm menarik nih, ternyata ga ada apa2 disini. Saya nyoba duduk di salah satu sisi area pantai tersebut, wah rasanya malah gak nyaman serasa mau mojok. Masa mojok? gini ga inget umur apa.

Pantai Morosari

Lalu saya memutuskan untuk mengorek info dari ibu-ibu yang sedang nyuapin anaknya yang sejak tadi saya perhatikan. Hampiri dan sapa "ibuk, kalau mau ke magrove itu lewat mana ya", saya kira ibunya akan ramah menjelaskan, ternyata sama saja dia menjawab "ke sana naik perahu mas, sewa perahu". Ah sama saja nih penjelasan ibunya, sama-sama gak bagus, apa mungkin karena raut wajah saya ini macam kertas ditekuk-tekuk. Lantas saya berniat keluar dari tempat yang ga ada soul nya itu, males. Sebelum keluar saya lewat loket dan dipaksa-paksain buat tanya lagi masnya walaupun ga mood banget deh, "eh mas, kalau mau ke hutan mangrove yang jalan aja itu liwat mana yah?" dengan lancar dia jawab "disana mas keluar ada jambatan tar kiri, terus sampingnya sini naik motor aja, karena masih jauh jalannya, itu arah makam". Buset kenapa dia tadi bilangnya naik perahu kalau mau ke mangrove. Jembatan itu kan yang tadi gak ada petunjuknya, sial.

Sialan juga, dia bilangnya kalau kita udah keluar dari situ, kalau misal dia bilang dari tadi mungkin gak mustahil saya bakalan gak jadi masuk ke pantai itu, apalagi bayar. Bukan maksud saya pelit, tapi saya merasa dibodoin. Emang gada yang salah sama wisata itu, saya aja yang goblog.

Oke, sesuai ancer-ancer yang dikasih masnya tadi ternyata yang harus kita cari adalah arah makam, bukan obyek wisata. Setelah sekali kesasar ke tempat yang tanahnya seperti lahan gambut dan beberapa kali menarik perhatian warga sekitar karena tanya sana-sini, akhirnya ketemu juga arah yang benar, benar seperti yang diharapkan. Untung gak tenggelem ke lumpur hisap karena kesasar tadi.

Arah yang benar
Menuju ke arah makam ternyata ramai, di kanan-kiri jalan banyak toko kelontong, serasa ini wisata yang bener. Mobil hanya bisa sampai parkiran yang masih jauh dari lokasi yang dimaksud. Dan sudah banyak parkiran motor disana, namun sesuai arahan masnya tadi bisa kok naik motor sampai pol, sama seperti info di google, sampai nanti ada batas maksimal motor.

Jalan menuju makam

Ternyata seru juga karena saya harus mengendarai motor yang kanan kirinya laut, dengan jalan beton rusak-rusak dengan lebar 1,5 meter. Banyak juga pemuda-pemudi yang menikmati jalan tersebut dengan berjalan kaki. Sebenernya lebih santai jalan kaki walau masih jauh. Nah setelah melalui banyak rintangan dan uji keseimbangan motor, sampailah ke tempat parkir batas maksimal motor.

Taraa sampailah ternyata tempat ya dimaksudkan, yaitu tempat yang kanan kirinya ada hutan mangrove nya. Seger juga hawanya, sore-sore dan banyak sekali pengunjung di situ. Hawanya tambah seger karena banyaknya vegetasi disono. Parkirnya cuma 2000, murah. Motor di parkir di atas semacam bambu-bambu yang sengaja di bikin untuk parkiran, karena dibawahnya air. Sepertinya kanan kirinya emang laut, tapi ternyata enggak dalam. Yah ini sebenarnya kawasan yang dulunya pedesaan tapi terkena erosi, sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk nanem mangrove ini di sabuk pantai, dari barat ke timur sepanjang pantura.

Sampai ke tempat yang dimaksud

Banyak banget satwa bangau yang terbang ke sono sini di antara pepohonan bakau. Menarik, suara berkoak burung bangau, hawa segar, pemandangan hijau seakan mengundang manusia untuk berpoto disana. Sangat beda dari perkotaan yang bising, beda dengan suasana pantai yang membosankan. Hanya saja angin pantai yang cukup besar waktu itu.

Satwa dilindungi

Banyak papan larangan di sekitar situ, seperti "dilarang pacaran", "dilarang bergandengan tangan". Aneh ya, padahal kan tergantung pada niat, menurutku bergandeng tangan kan hak asasi, apalagi kalau ibu dan anaknya masa ga boleh. Yah tapi bagus juga sih maksudnya, biar gak banyak yang mesum, karena banyak juga penduduk sekitar situ jadi kudu ngehormatin, apalagi disitu nuansanya makam. Oiya yang lain ada papan tulisannya pakai kamera bayar 25000, tapi kalau kamera hape diperbolehkan. Buset mahal amat sekelas candi borobudur guys, padahal hape kan juga ada yang bagus dan lebih mahal dari kamera poket. Mungkin yang dimaksud kamera-kamera yang profesional itu. Kudunya kamera bayar 25 ribu, bawa i-phone bayar 30 ribu itu baru fear, hehe. Tapi kayanya peraturan ini banyak diabaikan, karena ya kurang masuk akal.

Banyak papan pengumuman lucu

Jika jalan ini diikuti terus, nanti sampai jalan ke arah makam. Karena saya gak bermaksud ziaroh makanya gak terus kesana. Saat itu hari jumat sore entah ada rombongan satu desa berbondong-bondong ziarah ke makam.

Jembatan diatas air

Nah wisata ini sebenarnya ambigu. Ambigunya gimana, wisata yang sebenernya adalah pantai, dan kalau mau tambahan advanture, silakan sewa kapal 100.000 rupiah berpetualang ke hutan mangrove diatas air. Mungkin saya bisa bayangin nuansanya tar mirip petualang ilmuwan di acara National Geographic Channel yang lagi meneliti buaya atau satwa liar, keren.

yang ditawarkan wisata sebenernya gini

Namun karena mahal gitu, jalan menuju makam malah ternyata lebih jadi perhatian yang lebih menarik, dan itu juga didukung masyarakat sekitar karena juga menguntungkan mereka desa nya jadi obyek wisata. Diantara keseruan jalan-jalan diantara air laut tadi, dan menikmati hutan mangrove walaupun di jembatan aja. Bayar 2000 rupiah, murah tapi keren. Wisata ini berpotensi, namun sayangnya membingungkan. Selamat mencoba, hehe.